top of page

Hak atas Informasi Publik dan Hak atas Rahasia Medis

SAMARINDA. Persidangan ajudikasi non litigasi penyelesaian sengketa informasi publik dengan nomor register 0018/REG-PSI/2018 antara pemohon Hatijah dengan termohon Rumah Sakit Pupuk Kaltim – Bontang kembali dilaksanakan pada tanggal 13 Desember 2018 dengan agenda pembacaan putusan.

Majelis komisioner dalam sengketa aquo terdiri dari Ketua Sencihan, M.Khaidir, SHI dan Ir. Rudi Taufana masing-masing sebagai anggota secara bergantian membacakan putusan dalam persidangan yang terbuka untuk umum dan dihadiri pihak pemohon dan termohon dengan didampingi panitera pengganti Rizka Ayu Amalia, S.H.

Adapun amar putusan, permohonan pemohon tidak dapat diterima dikarenakan termohon dalam hal ini bukanlah badan publik melainkan badan privat dimana badan hukum Rumah Sakit Pupuk Kaltim adalah sebuah perseroan terbatas (PT. Kaltim Medika Utama) / rumah sakit swasta.

Pada pokoknya permohonan dalam sengketa aquo tidak dapat diterima salah satunya karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 3 UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang berbunyi :

“Sengketa Informasi Publik adalah sengketa yang terjadi antara badan publik dan pengguna informasi publik yang berkaitan dengan hak memperoleh dan menggunakan informasi berdasarkan perundang–undangan”

IMG_20181213_142239

YURISPRUDENSI 

Majelis juga dalam pertimbangan putusannya mencantumkan yurisprudensi terkait ditolaknya permohonan penyelesaian sengketa informasi publik dikarenakan pihak termohon bukan badan publik melainkan badan privat (Putusan Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Timur Nomor : 0004/REG-PSI/I/2018 antara pemohon PT. Sejahtera Wastu Perintis dengan Termohon PT. Pelabuhan Samudera Palaran) dan yurisprudensi di batalkannya putusan Komisi Informasi oleh Kasasi Mahkamah Agung dikarenakan Komisi Informasi di salah satu provinsi di Indonesia tetap memutuskan termohon yang bukan badan publik tapi badan privat memenuhi kedudukan hukum dalam penyelesaian sengketa informasi publik sebagai badan publik dan komisi informasi memiliki kewenangan dalam sengketa aquo (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 152 K/Pdt.Sus-KIP/2017 tertanggal 28 Pebruari 2017 antara LSM Pengawasan Pembangunan Public Control dengan PT. Pupuk Sriwijaya Palembang).

HAK ASASI PEMOHON TIDAKLAH HILANG

Namun majelis dalam sengketa aquo juga memberikan catatan dalam pertimbangan majelis diputusan bahwa hak pemohon untuk berupaya mendapatkan informasi rekam medis, penyebab meninggalnya anak pemohon (mantan pasien RS. PKT) dan mencari keadilan tidaklah hilang dan bisa ditempuh melalui jalur hukum lainnya diluar dari instrumen hukum penyelesaian sengketa informasi publik di Komisi Informasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 269/Menkes/SKII/2008 tentang Rekam Medis, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 129/Menkes/SKII/2008 tentang Standar pelayanan Minimal Rumah Sakit.

Berikut referensi majelis dalam sengketa aquo ;

Dalam praktik kedokteran, setidaknya ada 3 (tiga) norma yang berlaku yakni:

  1. Disiplin, sebagai aturan penerapan keilmuan kedokteran;

  2. Etika, sebagai aturan penerapan etika kedokteran (Kodeki); dan

  3. Hukum, sebagai aturan hukum kedokteran.

Secara spesifik terkait dengan mengenai Kodeki (Kode Etik Kedokteran Indonesia) atau disebut juga etika profesi dokter adalah merupakan pedoman bagi dokter Indonesia dalam melaksanakan praktik kedokteran. Dasar dari adanya Kodeki ini dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 8 huruf f UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”) jo Pasal 24 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).

Penegakan etika profesi kedokteran ini dilakukan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (“MKEK”) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 Pedoman Organisasi dan Tata laksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia, ”Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah salah satu badan otonom Ikatan Dokter Indonesa (IDI) yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat, Wilayah dan Cabang untuk menjalankan tugas kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam tingkatannya masing-masing.”

Dengan demikian, MKEK adalah lembaga penegak etika profesi kedokteran (kodeki),  di samping MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) yakni lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi (lihat Pasal 1 angka 14 UU Praktik Kedokteran).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kode etik kedokteran (kodeki) merupakan amanat dari peraturan perundang-undangan yang penyusunannya diserahkan kepada organisasi profesi (IDI) sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat terhadap setiap anggota pada organisasi profesi tersebut.

Dalam tiga paket undang-undang di bidang kesehatan (UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik KedokteranUU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit) tak ada satu pasal pun yang menyebutkan bahwa karena kelalaian seorang tenaga kesehatan termasuk dokter bisa dipidana.

Pada dasarnya, dalam hukum pidana ada ajaran kesalahan (schuld) dalam hukum pidana terdiri dari unsur kesengajaan (dolus) atau kealpaan/kelalaian (culpa). Namun, dalam ketiga undang-undang tersebut di atas yang aturannya bersifat khusus (lex specialis) semua ketentuan pidananya menyebut harus dengan unsur kesengajaan. Namun, sesuai ketentuan Pasal 66 ayat [3] UU Praktik Kedokteran, masyarakat yang merasa dirugikan atas tindakan dokter/dokter gigi dapat melaporkan kepada MKDKI dan laporannya itu tak menghilangkan hak masyarakat untuk melapor secara pidana atau menggugat perdata di pengadilan.

Namun, dalam hal terjadi kelalaian dokter/tenaga kesehatan sehingga mengakibatkan terjadinya malpraktik, korban tidak diwajibkan untuk melaporkannya ke MKEK/MKDKI terlebih dahulu. Dalam Pasal 29 UU Kesehatan justru disebutkan bahwa dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Meskipun, korban malpraktik dapat saja langsung mengajukan gugatan perdata.

Jadi, ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian oleh tenaga kesehatan yakni:

  1. Melaporkan kepada MKEK/MKDKI;

  2. Melakukan mediasi;

  3. Menggugat secara perdata.

Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga kesehatan tersebut, maka dapat dilakukan upaya pelaporan secara pidana. (referensi diubah suai dari klinik hukum online)

IMG_20181213_145856

RUMAH SAKIT SWASTA/BADAN PRIVAT TETAP WAJIB MEMBUAT & MENYEDIAKAN PEDOMAN PELAYANAN REKAM MEDIS

Selain itu majelis juga berpendapat walaupun termohon bukanlah badan publik namun termohon dalam sengketa aquo tetap berkewajiban membuat PEDOMAN PELAYANAN REKAM MEDIS dikarenakan dalam bukti-bukti surat yang diajukan termohon dalam sengketa aquo tidak ada mencantumkan tentang SOP ataupun Pedoman Pelayanan Rekam Medis di Rumah Sakit Pupuk Kaltim – PT. Kaltim Medika Utama.

Berikut referensi majelis dalam sengketa aquo terkait hal itu :

Dalam pelayanan kesehatan, informasi kesehatan dapat dilihat dalam dua perspektif yakni sebagai informasi publik (informasi kesehatan) dan informasi privat (informasi medis). Hak atas informasi kesehatan bagian dari informasi publik adalah informasi tentang pelayanan kesehatan yang merupakan salah satu bentuk keterbukaan informasi publik yang dibatasi oleh ketentuan UU.

Informasi kesehatan merupakan salah satu bentuk informasi publik yang tunduk pada ketentuan UU KIP. Hak atas informasi kesehatan merupakan salah satu hak dasar sosial yang bersumber dari HAM, yakni the rights to health care.

Hak ini diwujudkan melalui kebijakan pemerintah untuk mengembangkan sistem informasi kesehatan. Sistem ini akan memudahkan masyarakat untuk mengakses fasilitas sarana pelayanan kesehatan dan infomasi tentang kebijakan kesehatan, sehingga dalam ruang lingkup hak dasar pelayanan kesehatan, hak ini merupakan bagian dari hak atas pelayanan kesehatan khususnya the right to access health care.

Hak atas rahasia medis merupakan suatu hak yang bersumber dari hak dasar individual, yakni the rights to self determination. Dalam konteks hak dasar individual ini terdapat pula hak atas informasi medis yang merupakan informasi yang bersifat privat. Perwujudan hak dasar individual dalam pelayanan kesehatan ini dikenal dengan adanya konsep trilogy rahasia medis dalam suatu hubungan pelayanan medis (hubungan terapeuk) yaitu informed consent, medical record, dan rahasia medis.

Rangkaian hubungan ini didahului dengan pemberian hak atas informasi medis bagi pasien yang harus dipenuhi oleh dokter dan dengan diakhiri persetujuan oleh pasien untuk dilakukan tindakan medis, dalam suatu prosedur yang dinamakan informed consent. Selanjutnya dokter memiliki kewajiban lebih lanjut untuk membuat medical records atas semua hal yang dilakukannya terhadap pasien. Medical records ini harus dikelola dan dijaga dengan baik, karena isinya merupakan suatu hal yang bersifat rahasia (karena dokter memiliki kewajiban profesional untuk menjaga kerahasiaan pasiennya), jadi rahasia medis terkait dengan rahasia jabatan dokter.

Problem HAM dalam pelayanan kesehatan seringkali terjadi, khususnya terkait kepenngan perlindungan antara hak dasar sosial dengan hak dasar individual. Hak atas informasi publik maupun hak atas rahasia medis, keduanya merupakan hak yang bersumber dari HAM.

Dalam beberapa kasus yang terjadi seringkali penyelenggara pelayanan kesehatan dihadapkan pada pilihan antara memberikan informasi kesehatan, sebagai warning agar masyarakat terhindar dari penularan penyakit atau harus menjaga rahasia medis pasiennya.

Berdasarkan berbagai ketentuan perundang-undangan, informasi medis bersifat rahasia dan merupakan salah satu informasi yang dikecualikan untuk dibeberkan menurut UU KIP, maka dapat disimpulkan bahwa data kesehatan pasien bukan termasuk informasi yang dapat disampaikan kepada publik. Rahasia kedokteran/rahasia medis merupakan hak pasien yang harus dihormati.

Jadi, dapat ditafsirkan bahwa hak atas informasi kesehatan merupakan hak setiap orang yang dibatasi oleh hak atas rahasia kedokteran.

Namun, untuk kepentingan pasien yang bersangkutan maka rahasia kedokteran dapat dibuka dengan syarat adanya persetujuan dari pasien. Sementara itu, terkait dengan kepentingan umum atas perintah undang-undang, misalnya dalam hubungannya dengan penyakit menular yang membahayakan kepentingan umum, maka rahasia dapat dibuka tanpa persetujuan pasien, meskipun dengan syarat tidak boleh membuka identitas pasien.

Oleh karenanya adanya SOP atau Pedoman Pelayanan Rekam Medis disebuah Rumah Sakit sangat penting dan wajib ada untuk berjalannya secara seimbang pelayanan hak atas informasi publik dan hak atas rahasia medis.

#beritasidang

bottom of page