top of page

Keterbukaan Informasi Publik merupakan prasyarat utama penataan Ijin Usaha Pertambangan Batubara

7449cb1b-993b-4e5f-85e2-bd48acaafdee_169

Keterbukaan Informasi Publik merupakan prasyarat utama penataan Ijin Usaha Pertambangan Batubara baik lingkup nasional maupun daerah.  Langkah Kementerian ESDM, KPK, Ombudsman dan instansi terkait lainnya ditingkat pusat untuk membuka database IUP Batubara sebagai informasi publik yang sifatnya berkala merupakan keputusan tepat untuk meningkatkan partisipasi publik dalam pengawasan penataan IUP batubara yang rawan dan berpotensi terjadinya Korupsi secara sistemik dalam sektor perijinan pengelolaan sumberdaya alam salah satunya batubara.


Sehubungan dengan Hasil Koordinasi Penataan IUP (Ijin Usaha Pertambangan / Batubara) yang merupakan tindak lanjut kegiatan Koordinasi dan Supervisi Mineral dan Batubara yang melibatkan KPK, Ombudsman, Ditjen Daglu, Ditjen Bea Cukai, Ditjen Pajak, Ditjen Gakkum KLHK, Ditjen AHU, dan Ditjen Hubla Jumlah IUP yang terdapat di Database Ditjen Minerba sebanyak 9.074 IUP yang terdiri dari 6.565 IUP (CnC) dan 2.509 IUP (Non CnC). Dari jumlah tersebut sebanyak 1.194 IUP berada di Kalimantan Timur, sekitar 20,6 % berstatus IUP Non CnC dan hanya -/+ 240 IUP yang masih berlaku ijinnya. Sebaran IUP Non CnC di Kaltim : Berau 16 IUP Non CnC , Samarinda 10 IUP Non CnC, Kutai barat 22 IUP Non CnC, Kutai kartanegara 88 IUP Non CnC , Kutai timur 94 IUP Non CnC , Paser 9 IUP Non CnC, PPU 8 IUP Non CnC.

Dalam dunia usaha pertambangan dikenal istilah CnC atau Clear and Clean (CnC). Namun, tidak semua orang mengerti apa arti CnC. CnC yang dimaksud adalah tidak tumpang tindih dan izin sesuai peraturan. Artinya, Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dinyatakan CnC adalah IUP yang status izinnya sudah benar, tidak menyalahi aturan dan wilayah izin usaha pertambangannya tidak tumpang tindih dengan perusahaan / IUP lain dan kawasan konservasi alam. sedangkan IUP batubara Non CnC adalah kebalikannya, ijinnya tidak benar dan menyalahi peraturan yang ada serta tumpang tindih dengan IUP lainnya. Beberapa regulasi yang menjadi dasar adanya CnC diantaranya, PP 22/2010, PP 23/2010 pasal 112 ayat 1.a, Peraturan Menteri ESDM 43/2015.

 

Masih Ada Perbedaan DATA

Goenoeng mengungkap, data antara yang dimiliki Kementerian ESDM dan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Dinas ESDM Kaltim berbeda. Padahal, terang dia, jumlah IUP yang diterima Pemprov Kaltim dari pelimpahan kewenangan yang sebelumnya di tangan pemerintah kabupaten/kota sebanyak 1.404 IUP. “Kami sudah sampaikan data terkini, tapi setiap rekonsiliasi yang muncul juga beda (1.193 izin),” ucapnya.  selengkapnya  http://kaltim.prokal.co/read/news/319396-244-perusahaan-tambang-dibekukan.html

 

KPK dan Pemerintah Terus Benahi Izin Usaha Pertambangan


Rabu, 6 Desember 2017. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM menggelar rapat koordinasi penataan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Rapat koordinasi ini digelar dalam rangka tindak lanjut penyelesaian penataan IUP, bertempat di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (6/12).

Rapat yang digelar secara terbuka ini, dihadiri oleh Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Ariyono, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM Fredi Haris, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi, Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih, lembaga swadaya masyarakat, dan perwakilan masyarakat sipil.

Dirjen AHU Kemenkumham, Fredi Haris, mengatakan kacaunya IUP mencederai hak-hak negara. Ia mengatakan sudah lama sadar ada hak negara di balik penunggakan IUP.

“Kami siap memblokir,” kata Fredi dalam rapat koordinasi di Gedung Merah Putih KPK, Rabu, 6 Desember 2017.

Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan mengatakan, kekisruhan IUP ini juga disebabkan oleh data yang tak terintegrasi satu sama lain. Mulai dari berbagi data pertambangan, perusahaan, dan beneficial ownershipnya.

“Selanjutnya kami akan bakukan data satu peta informasi, kami keroyok untuk membenahi ini,” kata Pahala.

Usai rapat koordinasi, Pahala menyebutkan ada lima kesimpulan yang akan ditindaklanjuti.  Pertama, penataan IUP akan diselesaikan berbasis propinsi. Rekomendasi IUP yang sudah terlambat akan diselesaikan oleh tim bersama. Berdasarkan catatan yang ada, rekomendasi IUP yang sudah terlambat sebanyak 130 di Kalimantan Tengah, 8 di Aceh, dan 17 di Jawa Barat.

Kedua, untuk Surat Keputusan yang sudah habis dan non-CnC, per 31 Desember mendatang secara serentak akan dihentikan pelayanan ekspor impornya oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.

Selanjutnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai akan berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak. Bagi entitas yang bermasalah atau ada kewajiban, kedua direktorat ini akan saling berbagi informasi.

Kemudian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan turun ke propinsi untuk menyelesaikan IUP yang non CnC, tumpang tindih, atau sengketa.

Kesimpulan terakhir adalah akan ada klarifikasi untuk tagihan Pendapatan Negara Bukan Pajak. Menurut catatan, ada Rp 4,3 triliun yang masih belum dibayar.

Klarifikasi tunggakan ini akan diselesaikan bersama. Bagi perusahaan yang sudah tidak beroperasi tidak mengugurkan kewajibannya. Untuk perusahaan yang berganti nama guna menghindari kewajiban, akan dilacak siapa beneficial ownershipnya.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Febri Diansyah Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Jl. Kuningan Persada Kav.4 Jakarta Selatan (021) 2557-8300 | 0813 1485 9183 www.kpk.go.id | Twitter: @KPK_RI

 

DATA IUP BATUBARA DI KALTIM – UPDATE DATA ESDM-MINERBA 6 DESEMBER 2017

 


Hasil Penilaian Risiko Korupsi dalam Pemberian Izin Usaha Pertambangan di Indonesia  http://riset.ti.or.id/hasil-penilaian-risiko-korupsi-dalam-pemberian-izin-usaha-pertambangan-di-indonesia/





Pemberian Izin Usaha Pertambangan Rawan KorupsiKekayaan alam Indonesia khususnya bahan tambang mineral dan batubara selayaknya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pembangunan sosial dan ekonomi untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun keinginan tersebut sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 belum dapat diwujudkan secara maksimal yang salah satu penyebabnya adalah masih buruknya tata kelola sumber daya alam termasuk bahan tambang mineral dan batu bara serta adanya ketidakmampuan dalam upaya mitigasi segala risiko dan dampak dari buruknya tata kelola dalam pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Risiko korupsi adalah salah satu risiko utama yang timbul. Risiko korupsi merupakan segala risiko (beserta dampaknya) yang dapat memicu adanya praktek-praktek korupsi seperti penyalahgunaan kekuasaan, suap, gratifikasi dan sejenisnya.

Pada sektor pertambangan, Transparency International Indonesia telah melakukan suatu studi untuk menilai risiko korupsi pada proses pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) mulai dari tahapan penetapan wilayah pertambangan (WP), pelelangan wilayah izin usaha pertambangan, sampai dengan tahapan penerbitan IUP khususnya IUP Eksplorasi. Penilaian tersebut berangkat dari berbagai permasalahan dan kesenjangan dalam sistim dan tata kelola pemberian IUP. Hasil penilaian menemukan bahwa terdapat 35 risiko dalam pemberian IUP yang dapat memicu adanya praktek korupsi, 20 risiko diantaranya dikategorikan sangat tinggi, artinya risiko-risiko tersebut hampir pasti atau sangat mungkin terjadi dan menimbulkan dampak yang sangat buruk jika tidak ada upaya mengatasi dan memperbaiki permasalahan dan kesenjangan dalam sistem dan tata kelola pemberian IUP.

Risiko-risko tersebut diantaranya adalah: 1) Lemahnya sistem audit dan pengawasan baik keuangan maupun pertambangan, 2) Tertutupnya akses data dan informasi di sektor pertambangan, 3) Buruknya penegakan hukum atas ketidakpatuhan dan praktek korupsi dalam proses pemberian IUP, 4) Lemahnya koordinasi vertikal dan horizontal terkait pemberian IUP, 5) Kurang kuatnya kerangka aturan yang mendukung tata kelola sektor pertambangan yang baik, 6) Ketidakpatuhan dalam melaksanakan UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara beserta turunannya, 7) Tidak lengkapnya sistem informasi geologi yang berakibat pada ketidakpastian nilai ekonomi WIUP yang akan dilelang serta status permukaan lahannya, 8) Lemahnya pelibatan masyarakat khususnya yang terdampak kegiatan pertambangan dalam proses pemberian IUP.

Dalam hal kewenangan penerbitan IUP juga dimiliki oleh Pemerintah Provinsi. Untuk itu, kebutuhan untuk melakukan upaya pencegahan berbagai risiko korupsi dalam pemberian IUP sangat mendesak. Berdasarkan hasil penilaian risiko korupsi menemukan bahwa, salah satu faktor pendorong munculnya risiko korupsi dalam pemberian IUP adalah pada saat kontestasi politik di daerah dalam hal pemilihan kepala daerah langsung. Beberapa provinsi (Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara) kaya sumberdaya alam berupa bahan tambang mineral dan batu bara akan melaksanakan pemilihan kepada daerah pada tahun 2018. Pada beberapa kasus, kontestan politik khususnya calon dari petahana ditengarai meminta “sumbangan” kepada pemegang IUP dan/atau pemohon IUP untuk membiayai kampanye politik mereka.

Bila tidak segera dilakukan upaya pencegahan, menurut Sekjen Transparency International Indonesia, Dadang Trisasongko menyatakan, “Pemerintah Pusat dianggap gagal membenahi Tata Kelola Perizinan Sektor Pertambangan dan politisi-politisi lokal akan terus menjadikan perizinan pertambangan ini sebagai sumber dana bagi kampanye politik mereka”.

Manajer Tata Kelola Industri Berbasis Lahan Transparency International Indonesia, Rivan Prahasya menambahkan bahwa dalam upaya untuk mencegah risiko korupsi dalam pemberian IUP di pemerintah Provinsi, kami memberikan rekomendasi kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar dapat melakukan hal-hal berikut: 1) Penguatan sistem integritas peneyelenggaraan pemerintahan provinsi termasuk perizinan sektor pertambangan. 2) Penetapan aturan yang lebih rinci terkait kewenangan pemerintah provinsi di bidang pertambangan termasuk aturan mengenai alokasi anggaran provinsi untuk audit dan pengawasan pelaksanaan IUP.

Selain itu, kami juga merekomendasikan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) agar setidaknya dalam 1 – 2 tahun ke depan dapat melakukan hal-hal berikut: 1) Keterbukaan akses data dan informasi terkait proses pemberian izin pertambangan  khususya penetapan WP, proses lelang WIUP, penerbitan IUP, kadastral pertambangan, serta informasi detil dari pemegang IUP, 2) Mekanisme penanganan/pengelolaan pengaduan dan masukan masyarakat yang transparan dan akuntabel terkait pemberian izin pertambangan. 3) Peningkatan kapasitas inspektur tambang di daerah serta penetapan standar operasional dan kinerja inspektur tambang. 4) Penetapan prosedur dan standar mengenai due dilligence/uji tuntas terhadap peserta lelang WIUP dan pemohon IUP.

Kami juga mengharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat  memfasilitasi para pihak yang berkepentingan dalam membangun sistem integritas dalam pengelolaan sumber daya alam selaras dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA).

Kontak: •    Rivan Prahasya, Manajer Tata Kelola Industri Berbasis Lahan – 0812 5842 814 •    Utami Nurul Hayati, Program Officer Tata Kelola Industri Berbasis Lahan – 0816 700 609

 

Gandeng 5 Kementerian, KPK Cabut 2.500 Izin Tambang Bermasalah

Pemerintah akan Blokir Ribuan Izin Tambang Bermasalah  http://www.mongabay.co.id/2017/12/09/pemerintah-akan-blokir-ribuan-izin-tambang-bermasalah/

Jokowi Diminta ‘Blacklist’ Ribuan Perusahaan Tambang Bandel https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171206081643-85-260412/jokowi-diminta-blacklist-ribuan-perusahaan-tambang-bandel/

Mengurai kusut izin pertambangan di Indonesia  https://beritagar.id/artikel/berita/mengurai-kusut-izin-pertambangan-di-indonesia

bottom of page